Punya banyak temen yang pandai mengutarakan opini dengan latar belakan dan pandangan yang berbeda-beda itu memang asik campur greget, walau kadang bikin mumet. Kalau lagi ngumpul gak bakal mati gaya, selalu saja ada yang diomongin, semacam diskusi, walau tak jarang malah jadi debat kusir dengan segala ke-sotoyan-nya, masih mending kalo sotoynya rada ilmiah, lah ini sotoynya dua puluh empat karat.
Saya yang sejak lahir males mikir ini hanya jadi pendengar yang baik, melongo merhatiin orang berbincang sambil sesekali ngisi mulut dengan kacang. Tapi kadang gatel juga ingin nimpalin pendapat orang, dan akhirnya nyeletuk ganteng.
Terlebih akhir-akhir ini, suasana politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia lagi gemes-gemesnya, makin banyak bahan, deh, tuh para Pendekar debat.
Merasa bersyukur saya tidak pernah terpancing untuk bersikap ekstrim terhadap pendapat/opini/pandangan orang lain. Seaneh apapun pandangannya tersebut, Saya selalu berusaha untuk tidak membencinya, terlebih memutuskan tali silaturahmi dengannya. Karena jika sampai begitu, justru akan tidak baik untuk diri kita sendiri, kita akan memiliki pandangan yang homogen, atau lebih parah malah jadi alodoxaphobia, mendingan jadi skaphobia bisa goyang hepi.
Di dunia maya juga gitu, tuitter, misalnya. Saya banyak belajar dari twitter, karena disanalah gudangnya opini yang natural, murni dari otak para penghuninya. Ada beberapa teman saya yang bercerita kalo mereka lebih memilih untuk unfollow akun yang selalu berbeda pandangan dengannya. Itu hak masing-masing individu, sih, untuk memilih siapa yang ingin dia dengar dan siapa yang ingin dia jadikan pendengar. Tapi bagi saya, hanya membaca pandangan-pandangan yang sama dengan pandangan kita itu gak fair, gak akan ada penyeimbang, gak akan ada yang mengkritisi.
Contohnya, di twitter saya mem-follow satu akun yang kerap mengkritik (menghina?) Islam. Saya asik-asik aja, saya tetap mengukuti dia, karena bagi saya itu menarik. Saya jadi tahu sisi lain dari pandangan orang terhadap agama yang saya anut. Hikmahnya, saya jadi tertarik mencari tahu hal tentang hal yang dia kritik, akhirnya pengetahuan saya tentang Islam bertambah. Itu salah satu contonya. Ambil positifnya napa?
Jadi ya...gitu, deh.
capluk dulu pertamax
BalasHapusMabok lho ntar. Pertamax kok dicapluk.
Hapusya udah kalo emang gituh mah....saya juga ikutan begitu juga atuh lah
BalasHapuspertanyaannya: paham nggak dengan isi bacaan?
HapusNgga paham sepertinya mas zach :D
HapusOke, kalo gitu kita gituan yuk?
HapusSalut dengan artikel mas Rudy Arra nan ganteng ini. Dikritik atau diberi masukan memang menyakitkan walau maksudnya (sebenarnya) baik. Mungkin beda tipis ya antara KRITIK dengan MENGHUJAT atau menjelekkan. Dari sudut pandang tertentu tentunya. DIkritik tajam lantas tidak membuat dia marah, justru mencari tahu mengapa sampai dia berpendapat demikian. Hak setiap orang memang untuk menyampaikan pendapatnya. Jika pendapatnya itu menyinggung perasaan orang lain tentu masih bisa kita kaji dari sisi mana sampai dia merasa tersinggung. Setiap dari kita emmang punya pandangan yang berbeda. Hati orang siapa tau
BalasHapusapalagi ginjal orang
HapusIya, Kang, Mas.
Hapusiya Mas, mengalir sajaa. saya juga punya teman atheis dan saya menikmati saja dengan yang dia utarakan. ntar pas saatnya bola lambung, gantian aja kita smash, paling-paling jadi gantian dia yang cengo.
BalasHapusIya, mereka gak bakal punya bahan lagi.
HapusSetuju... ambil sisi positifnya.. jangan langsung murka yg ujung-ujungnya ribut...
BalasHapusNah, itu justru yang banyak, yang gak ngerti apa-apa pun ikut-ikutan.
Hapus